Senin, 04 April 2016

Agama Sebagai Sistem Budaya

source

AGAMA SEBAGAI SISTEM BUDAYA  


Sistem adalah sekumpulan unsur / elemen yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi dalam melakukan kegiatan bersama untuk mencapai suatu tujuan.

Budaya menurut Koentjaraningrat (1987:180) adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.

 Pendahuluan

Agama, secara mendasar dan umum dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya”. Dalam definisi tersebut, agama dilihat sebagai sebuah doktrin atau teks suci. Sedangkan hubungan agama dengan manusia yang meyakininya dan khususnya kegiatan-kegiatan manusia penganut agama tersebut tidak tercakup dalam definisi tersebut. Para ahli ilmu-ilmu sosial, khususnya Antropologi dan Sosiologi, yang perhatian utamanya adalah kebudayaan dan masyarakat manusia, telah mencoba untuk melihat agama dari perspektif masing-masing bidang ilmu dan pendekatan-pendekatan yang mereka gunakan, dalam upaya mereka untuk dapat memahami hakekat agama dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya.

Agama disebut sebagai sebuah sistem budaya karena Agama merupakan sebuah hasil dari “sistem gagasan” manusia terdahulu. Sistem gagasan di sini bermaksud bahwa masyarakat primitif dahulu mengunakan agama sebagai “alat” penjelas terhadap fenomena-fenomena alam yang terjadi, lambat laun manusia primitif menganggap bahwa segalanya memiliki ruh. Segala fenomena yang disaksikan dan yang mereka nisbahkan pada ruh. Artinya dengan demikian, manusia primitif dapat menafsirkan fenomena-fenomena yang ada diartikanya seperti banjir, gempa, dan lainya dengan padangan tersebut.

AGAMA merupakan sebuah realitas yang telah hidup dan mengiringi kehidupan manusia sejak dahulu kala. Bahkan Agama akan terus mengiringi kehidupan manusia entah untuk beberapa lama lagi. Fenomena ini akhirnya menyadarkan manusia bahwa baik Agama maupun manusia tidak dapat dipisahkan, keduanya saling membutuhkan. Sebaliknya, manusia tidak akan menjadi manusia yang memiliki budi pekerti yang manusiawi jika Agama tidak mengajarkan manusia bagaimana cara menjadi manusia yang menusiawi tersebut.

Pada waktu kita melihat dan memperlakukan agama sebagai kebudayaan maka yang kita lihat adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat manusia, dan bukan agama yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab suci Al Qur’an dan Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam masyarakat, maka agama menjadi bercorak lokal; yaitu, lokal sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat tersebut. Mengapa demikian? untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga harus dapat mensesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta unsur-unsur kebudayaan yang ada, sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian maka agama akan dapat menjadi sistem nilai-nilai budaya dari kebudayaan yang ada tersebut.

Agama sebagai sistem budaya, merupakan konsep antropologis dalam pandangan antropologi, pengamalan agama dianggap sebagai kreasi untuk menuju jalan hidup yang bervariasi, sesuai latar belakang pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai-nilai yang dianutnya.

KESIMPULAN 


STUDI AGAMA  SEBAGAI SISTEM BUDAYA

 Agama tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan dan kebudayaan identik dengan manusia, karena manusia adalah makhluk budaya, makanya secara fitrah manusia mempunyai naluri keberagama karena keterbatasan-keterbatasan dan ketakutan yang dimilikinya. Jadi agama, budaya dan manusia tidak bisa dipisahkan.

Pengertian, tujuan, ciri-ciri, dan ragam membaca kritis

source

 

Membaca Kritis


Pengertian Membaca kritis 

   Albert menyatakan bahwa membaca kritis ialah kegiatan membaca yang dilakukan secara bijaksana, penuh tanggung jawab, mendalam, evaluatif, analisis dan bukan hanya mencari kesalahan penulis (Tarigan, 1983). Membaca kritis penting dalam rangka mengkaji suatu buku baru atau ilmu pengetahuan baru. Hal ini dilakukan untuk mengui apakah buku baru itu berbobot atau tidak.

  Tujuan membaca kritis ada lima. Yang pertama memahami tujuan penulis atau pengarang. Adapun tujuan penulis menulis buku itu antara lain : (1) member informasi kepada pembaca, (2) menghibur pembaca, (3) meyakinkan pembaca, (4) mengajak pembaca. Yang kedua adalah memanfaatkan kemampuan membaca pemahaman dengan kemampuan berfikir kritis. Ketiga, memahami organisasi tulisan atau bacaan, yaitu (1) pendahuluan, (2) isi, (3) penutup. Keempat, memberikan penilaian pada penyajian penulis atau pengarang. Adapun sei-segi yang dinilai adalah: (1) informasi, (2) logika, (3) bahasa, (4) kualifikasi, dan (5) sumber informasi. Kelima, menerapkan prinsip-prinsip kritis pada bacaan.

    Ciri-ciri membaca kritis antara lain: (1) membaca kritis selalu melibatkan tingkat berfikir kritis; (2) pembaca tidak langsun menyetujui atau menerima pendapat pengarang; (3) ingin selalu mencari kebenaran; (4) selalu terlibat dengan permasalahan-permasalahan gagasan utama dalam sebuah wacana atau bacaan; (5) keterampilan untuk menyimpulkan bacaan yang telah dibacanya; (6) menemukan maksud dan tujuan penulis melalui tulisan; (7) melakukan prediksi terhadap bacaan yang telah dibacanya; (8) membedakan antara fakta dan opini dalam sebuah wacana; (9) keterampilan menemukan dan membedakan antara realitas dan fantasi dalam bacaan.

 Ragam Membaca Kritis

  A.    Membaca Teliti 

 Membaca teliti adalah kegiatan membaca yang memusatkan kepada ketelitian pemahaman bacaan. Agar pembaca dapat mudah memahami bacaan.

 Tujuan membaca teliti secara khusus adalah (1) memahami bacaan secara detail dari awal sampai akhir bacaan; (2) memahami idea tau gagasan setiap komponen bacaan; (3) memahami komponen bahasa yang digunakan; (4) meneliti struktur organisasi bacaan secara cermat; (5) meneliti tokoh yang terdapat pada bacaan tersebut ( khusus untuk bacaan sastra )

 B.    Memahami Pemahaman

 Membaca pemahaman adalah suatu kegiatan membaca yang bertujuan untuk memahami wacana secara tepat.

Membaca pemahaman bertujuan untuk memahami wacana atau bacaan yang berupa (1) ilmu pengetahuan dan teknologi, (2) ilmu agama, (3) budaya dan adat istiadat, (4) buku-buku sastra dan kesenian, (5) resensi kritis, dan (6) buku-buku drama.

 Adapun aspek penting yang perlu dikuasai oleh pembaca ialah : (1) memahami kosakata yang jumlahnya cukup besar, luas dan akurat, (2) memiliki kemampuan menafsirkan makna frase, klausa, kalimat, paragraph dan wacana, (3) mampu menangkap ide pokok dan ide penunjang pada wacana yang dibacanya, (4) mampu menangkap outline bacaan dan rinciannya, (5) mampu menangkap maksud penulis pada bacaan tersebut, (7) mampu meneliti dan memberikan komentar kritis terhadap wacana yang telah dibacanya, (8) mampu mengikuti alur yang telah digarisi penulis dalam wacana, dan (9) mampu mengingat masalah pokok yang terdapat dalam wacana, dan (10) mampu mengatur kecepatan membaca.

C.    Membaca Ide 

Membaca ide adalah kegiatan membaca yang bertujuan utama mencari ide atau gagasan pada sebuah wacana. 

Tujuan utama membaca ide adalah menemukan gagasan utama pada sebuah bacaan. Tujuan membaca ide untuk (1) memahami gagasan utama pada setiap paragraf dari wacana yang tersedia, (2) memahami gagasan utama pada setiap Subbab dari wacana yang telah tersedia, (3) mencari gagasan utama pada setiap bab, dan (4) menemukan gagasan utama pada seluruh wacana atau bacaan.

 D.    Membaca Bahasa 

Membaca bahasa lebih menekankan kepada unsur-unsur kebahasaan yang menjadi sasaran utamanya, misalnya morfem, kata, frase, kalimat, dan wacana. Membaca bahasa ialah kegiatan membaca yang menitikberatkan kepada factor analisis segi-segi kebahasaan. Membaca bahasa banyak dipergunakan dalam pelajaran di sekolah dalam rangka menambah kosakata dan pengetahuan bahasa bagi siswa di sekolah.

 Membaca bahasa bertujuan untuk (1) menambah kosakata bahasa Indonesia, terutama kosakata baru; (2) menambah pengetahuan bahasa, terutama tata bentuk; (3) menambah pengetahuan tentang pemakaian ejaan; (5) menambah pengetahuan tentang wacana.

 Membaca Sastra

 Membaca sastra adalah kegiatan membaca yang menitikberatkan pada analisis unsur-unsur sastra. Yang dimaksud unsur-unsur sastra adalah bagian-bagian yang membangun karya sastra. 

Tujuan membaca sastra adalah untuk (1) mendapat hiburan; (2) menganalisis unsur-unsur sastra; (3) memberikan penilaian terhadap karya sastra; (4) mencari gaya penulisan seorang sastrawan; (5) mengetahui bentuk-bentuk estetika dalam karya sastra; (6) menentukan keaslian sebuah karya sastra. 

Membaca Kritis Artikel Ilmiah

 Artikel ilmiah memiliki bentuk, struktur, dan sifat-sifat tertentu. Oleh karena itu penulisannya harus mengikuti pola, teknik, dan kaidah-kaidah tertentu. Setiap jurnal ilmiah umumnya menggunakan pola dan teknik penulisan yang sama, namun setiap jurnal ilmiah memiliki gaya selingkung yang berbeda dengan jurnal lain. 

 Ada dua jenis artikel ilmiah yang sering dimuat pada jurnal ilmiah, yaitu artikel hasil penelitian dan artikel konseptual atau non-panelitian. Kedua jenis artikel itu berbeda. Ada jurnal ilmiah yang hanya memuat artikel penelitian dan ada juga yang memuat artikel konseptual atau artikel non-penelitian.

 Membaca Kritis Artikel Populer 

Artikel popular adalah artikel yang biasa dimuat di surat kabar atau majalah popular. Ada beberapa ciri artikel popular antara lain: (1) dimuat di surat kabar atau majalah popular, (2) pembaca artikel popular tidak dibatasi usia dan bidang ilmu atau keahlian, (5) artikel popular dapat dipahami oleh siapa saja dengan mudah, dan (6) artikel popular bersifat ilmiah popular, sehingga dapat dibahas oleh siapa saja.

 Artikel popular lebih mengutamakan aspek isi yang ringan dan mudah dibaca serta dipahami oleh masyarakat umum. Materi artikel sangat umum. Dalam bidang kesehatan dan pendidikan misalnya, terdapat tulisan berjudul “ Tips Kesehatan Mulut “, “ Menjaga Kebugaran Tubuh “, “ Pendidikan Anak Usia Dini “, dan sebagainya.

Mengakses Internet 

Yang perlu diperhatikan adalah tulisan-tulisan atau teks pada internet itu selalu tidak dalam teks yang utuh. Umumnya, teks-teks itu hanya ringkasan atau abstrak saja. Oleh karena itu, kalau membaca atau mencetak teks dari internet perlu diperhatikan betul isi wacana tersebut, agar tidak kecewa. Namun ada juga teks yang cukup panjang, misalnya dalam bidang ekonomi, teknologi, dan politik. 

 

Minggu, 03 April 2016

pengertian efektivitas hukum berupa struktur hukum,culture hukum, dan substansi hukum

source

Efektivitas Hukum 

Dalam proses dan perkembangannya, hukum selalu dipengaruhi oleh 3 (tiga) hal, yaitu:

1. Struktur Hukum (Legal Structure)
2. Budaya Hukum (Legal Culture)
3. Substansi Hukum (Legal Substance)

1.    Struktur Hukum (LegalStructure)


Struktur hukum (penegak hukum) merupakan institusionalisasi kedalam beradaan hukum. Struktur hukum disini meliputi lembaga negara penegak hukum seperti Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Advokat dan lembaga penegak hukum yang secara khusus diatur oleh undang-undang seperti KPK. Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Termasuk dalam struktur hukum yakni hirarki peradilan umum di Indonesia dan unsur struktur yang meliputi jumlah dan jenis pengadilan, yurisdiksinya, jumlah hakim agung dan hakim lainnya.

Dalam tataran hukum normatif, dengan amandemen, UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan sebagai dasar untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Tetapi dengan adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, secara institusional maupun hukum materil (hukum positif), menjadikan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM menjadi kuat.

Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakan hukum. Pada tataran implementasi, memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga tersebut, akan tetapi dengan adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendirinya upaya-upaya peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan penting, yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai di pengadilan.

Perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi hukum karena telah memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Pengembangan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan dan instansi lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM. Prioritas utama dalam penegakan hukum HAM yakni dengan meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur pendukungnya dalam memahami dan menangani perkara-perkara hukum yang berkaitan dengan HAM. Termasuk didalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan penanganan perkara-perkara hukum mengenai pelanggaran HAM.

Permasalah HAM baru masuk secara resmi dalam sistem peradilan kita semenjak bergulirnya reformasi. Sehingga dapat dilihat masih banyak, aparat penegak hukum kita yang tidak memahami persoalan HAM. Terlebih lagi untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat pelik dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting dan mendesak.

 2.    Kultur Hukum (Legal Culture) 


Kultur hukum (Budaya masyarakat) menurut Lawrence Meir Friedman yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.

Dalam konteks HAM, peran serat masyarakat sangatlah penting. Dilihat dari sejarah, adat kebiasaan, hukum, tata pergaulan dan pola bangsa Indonesia pada umumnya terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa bangsa Indonesia telah memiliki dan mengenal ide yang berkaitan dengan HAM. Bukti empiris yaitu adanya ungkapan-ungkapan yang sudah dikenal sejak nenek moyang, seperti istilah rembug desa, adat pusako jo koto, mufakat, gotong royong, tut wuri handayani, kabukit samo mendaki ka lurah samo menurun, musyawarah, dan lain-lain. Proses perkembangan masyarakat Indonesia telah mempertemukan asas hukum adat dengan sistem hukum bangsa/budaya asing secara terus menerus, sehingga terjadi interaksi dan saling mengisi, mengakibatkan adanya perpaduan/perubahan/pergeseran. Istitusi hukum akan semakin kuat jika ideologi politik demokrasi menyatu, dalam arti dilaksanakan dengan penuh disiplin dan tanggung jawab, sehingga rasa keadilan dapat terwujud dalam masyarakat.

Diakuinya eksistensi HAM dalam sistem hukum di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dan pergaulan Internasional. Terlepas dari pelaksanaan penegakan hukum HAM oleh aparat negara, secara konsep HAM telah tertuang dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan baik eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat) yang tujuan utamanya memberikan perlindungan hukum terhadap warga negara terhadap tindakan kesewenangan yang dilakukan penguasa maupun pihak mayoritas.

3. Substansi Hukum (LegalSubstance)

Substansi Hukum (aturan dari hukum itu sendiri) adalah aturan atau norma yang merupakan pola perilaku manusia dalam masyarakat yang berada dalam sistem hukum tersebut. Substansi Hukum, yang merupakan perundang-undangan seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang atau Peraturann Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan presiden, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Daerah.

nah kawan-kawan, udah ngerti kan apa perbedaannya? terus mana yang lebih baik struktur hukum, substansi hukum, budaya hukum? semuanya adalah baik, tinggal bagaimana penerapannya. ingat ya, jangan tanyakan sistemnya, tapi tanyakan prosesnya. semoga bermanfaat :)

Perkawinan Adat Samin di Blora Jawa Tengah

source

Perkawinan Menurut Adat Samin di Blora Jawa Tengah

Hukum adat yaitu hukum yang ada di Indonesia sebelum hukum dari Belanda. Bagi masyarakat perkotaan hukum adat mungkin terasa asing di telinga mereka, lain halnya dengan masyarakat yang hidup di daerah – daerah luar perkotaan.

Hukum adat sangat kental sekali dengan mereka. Sesuai pengertian hukum adat yaitu aturan – aturan yang harus ditaati oleh masyarakat tertentu, ditaati, ada hukuman berupa sanksi, biasanya ada yang telah dikodifikasikan dan ada yang belum dikodifikasikan. Di daerah Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Blora memiliki Suku yang sering disebut Suku Samin.

Suku Samin ini bermula dari kawasan Klopoduwur - Blora, namun menyebar sampai daerah Kabupaten Pati, Kudus dan Rembang bahkan sampai pedalaman Kabupaten Bojonegoro. Suku Samin dulunya merupakan komunitas orang – orang yang menganut ajaran Samin yang dibawa oleh Samin Surosentiko. Suku ini ada sejak zaman Belanda, ajaran ini merupakan ajaran yang dipakai oleh masyarakat Samin untuk perlawanan mereka kepada Belanda.

Jika bicara tentang hukum perkawinan, hukum perkawinan yang ada dalam Suku Samin ini sangatlah aneh. Dalam masyarakat Samin, hukum perkawinan tidak sinkron dengan hukum positif di Indonesia. Tertera jelas dalam Undang – undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun dalam suku Samin, aturan – aturan mengenai perkawinan tidak diatur jelas. Suku Samin memiliki agama sendiri yaitu agama “Kejawen”, dan dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 1 ayat 1 telah tertulis jelas bahwa “Perkawinan diatur menurut agama dan kepercayaan masing – masing.”. jadi masyarakat suku Samin menggunakan aturan pernikahan menurut Kejawen.

Pengujian peraturan daerah (perda) lewat executive review dan executive preview

Hak otonomi dimiliki oleh setiap daerah, oleh karena itu, tiap tiap daerah tersebut berhak untuk mengatur sendiri pemerintahan daerahnya secara otonom dan mandiri, salah satunya adalah dalam membentuk dan menetapkan peraturan daerah (selanjutnya disingkat Perda) dan peraturan-peraturan lain dalam melaksanakan otonomi daerah.

Peraturan daerah perlu diadakan pengawasan, agar isi dan prosedur pembentukannya tidak bertentangan dengan prinsip Negara kesatuan dan hukum nasional. Pengawasan dalam pelaksanaan otonomi tidak boleh mengakibatkan pengurangan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam dasar-dasar desentralisasi (kebebasan dan inisiatif daerah dalam berprakarsa). Tanpa pengawasan yang tepat maka akan membuat brandol (pengikat) kesatuan dalam NKRI akan terancam dan apabila pengawasan terlalu kuat, maka akan membuat nafas desentralisasi tersengal-sengal (terkurangi atau terputus)

Pembatalan perda

Pembatalan Perda berdasarkan Pasal 250 UU Pemda dikategorikan sebagai dapat dibatalkan (vernietigbaar) dan batal demi hukum (nietigheid van rechtwege). Tentunya pembatalan ini tidak terkait dengan cacat wewenang yang dimiliki oleh pemerintahan daerah, tetapi pembatalan ini seyogyanya lebih menitikberatkan pada cacat materi. Dalam hal ini dikatakan cacat materi karena materi Perda yang dibatalkan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun kepentingan umum.

a. Executive Review dan Executive Preview

Muncul perdebatan bahwa apakah Menteri Dalam Negeri berwenang melakukan pengujian (executive review) terhadap suatu Peraturan Daerah atau tidak. Namun sebelum membahasnya, terlebih dahulu perlulah di bedakan antara executive review dan executive preview.

Executive review adalah pengujian yang dilakukan pemerintah eksekutif terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku. Dalam hal pengawasannya, executive review biasa juga di sebut sebagai pengawasan represif. Sedangkan, executive preview adalah pengujian yang dilakukan oleh pemerintah eksekutif terhadap rancangan peraturan perundang-undangan.

Jadi, dalam hal executive preview, yang menjadi bahan pengujian adalah rancangan peraturan perundang-undangan yang belum diberlakukan atau belum di undangkan. Executive preview ini biasa juga di sebut sebagai pengawasan preventif.

Pengawasan pemerintah pusat terhadap peraturan daerah (executive review) terdiri atas dua bentuk, yakni pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan pemerintah pusat terhadap peraturan daerah dapat berakibat pada batalnya peraturan daerah itu. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 lebih mengatur secara rinci syarat-syarat kepentingan umum sebagai alasan bagi pemerintah pusat untuk melakukan pembatalan terhadap Peraturan Daerah dibanding dengan undang-undang No. 32 Tahun 2004.

b. Peraturan Daerah

Peraturan Daerah merupakan Peraturan perundang-undangan di tingkat daerah. Dibentuknya Peraturan bertujuan untuk menjabarkan peraturan perundang-undangan di atasnya, dan juga untuk mengatur persoalan kedaerahan.

kedudukan Perda dalam hirarki perundang-undangan:

1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. UU/ PERPU
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. PERDA Provinsi
7. PERDA Kabupaten

c. Batu Uji Pembatalan Perda

Dalam pelaksanaannya, Peraturan Daerah di samping tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, juga tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum. Agar peraturan daerah itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya dan dengan kepentingan umum, maka harus ada pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah itu, yang dilakukan oleh pemerintah pusat.

Indikator pembatalan Perda yang dilakukan oleh Pemerintah dengan menggunakan bertentangan kepentingan umum masih merupakan sesuatu yang debatable. Makna Perda sebagai penjabaran dari bertentangan dengan kepentingan umum menjadi indikator pembatalan Perda harus diperjelas, karena pembentukan Perda merupakan amanat Undang-Undang Pemerintah Daerah. Hal ini berkaitan dengan Perda tentang perizinan merupakan amanat Undang-Undang Pemerintah Daerah yang merupakan wewenang daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan, baik urusan wajib maupun urusan pilihan.

Di samping itu ada alasan baru dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2014 untuk membatalkan Peraturan Daerah  oleh pemerintah pusat, yakni alasan kesusilaan. Agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, maka perlu adanya mekanisme upaya administratif yang dapat ditempuh oleh pemerintah daerah, jika pemerintah daerah tersebut tidak dapat menerima keputusan pembatalan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.